Oleh: Muhammad Risam Purnama
Nabi Muhammad sebagai manusia memiliki cita-cita kolektif yang besar dan konkret, yakni mendirikan suatu negara. Keinginan tersebut barangkali tidak tertulis secara spesifik dalam hadits yang memuat ucapannya semasa hidup, tetapi hadits tidak sebatas ucapan (qauli), hadits termasuk pula di dalamnya perbuatan (fi’li) dan pembiaran (taqriri) nabi. Nabi Muhammad memikul tanggung jawab yang tinggi atas keberlangsungan para pengikutnya.
Sepanjang 13 tahun dakwah di Mekah, umat muslim dari klan yang lemah mengalami penindasan bertubi-tubi dari kelompok musyrik. Meskipun betapa akutnya penindasan tersebut, nabi Muhammad tidak memiliki daya bargaining yang dominan dalam membentuk kesepakatan guna melindungi sahabatnya, sebab nabi tidak memiliki otoritas yang kuat dalam tatanan sosial yang berlaku di Mekah tatkala itu. Menyadari hal demikian, nabi Muhammad menghimbau kepada setiap muslim yang berlatar belakang dari klan kecil yang tidak memiliki sistem perlindungan efektif, supaya melakukan perjalanan menuju negeri Habasyah (Ethiopia). Himbauan tersebut diberikan pada masa keempat akhir tahun kenabian, bertepatan 615 Masehi.
Rombongan pertama yang pergi ke Habasyah sebanyak 16 orang. Rombongan kedua mencapai 102 orang. Semunya berasal dari klan lemah, kecuali Utsman bin Affan dan Ruqoyah. Mereka berdua berngkat bukan untuk mendapat suaka, tetapi sebagai petugas dalam memandu upaya mendapatkan perlindungan suaka tersebut, sebab mereka berdua berasal dari klan yang kuat dan terpandang. Petugas suaka sangat penting keberadaannya, mengingat mereka yang melakukan perjalanan ialah kelompok yang memiliki trauma atas penindasan demi penindasan yang dilalui, ditambah perjalanan dari Mekkah ke Habasyah tidak hanya melalui jalur darat, tetapi juga jalur perairan Laut Merah.
Pada tahun ketujuh hingga kesepuluh kenabian, nabi Muhammad menghadapi tantangan berat. Embargo selama tiga tahun oleh Abu Sufyan, Abu Jahal, dan Umayyah bin Khalaf melemahkan Bani Hasyim dan kaum muslim. Namun, perjanjian tertulis di Ka’bah yang terkoyak-koyak rayap membebaskan mereka dari embargo. Kematian Abu Thalib dan Khadijah melemahkan sistem perlindungan kekeluargaan Nabi. Meski demikian, Nabi Muhammad terus berdakwah dalam tekananan politik yang semakin berat. Nabi Muhammad sempat berdakwah ke Thaif dengan harapan disambut baik sebab pernah hidup di sana semasa kecilnya dan memiliki beberapa kerabat, naas berujung gagal akibat propaganda kafir quraisy.
Nabi Muhammad memiliki analisis yang tajam. Dia mengetahui di bulan Dzulhijjah kelak datang rombongan-rombongan dari luar Mekah, ini menjadi kesempatan emas yang akan menjadi titik balik pemberangkatan siyasah nabi Muhammad. Berbeda dengan percobaan hijrah ke Thaif yang minim persiapan, hijrah ke Yastrib disusun dengan strategi yang akurat.
Strategi hijrah nabi muhammad dilaksanakan pada tahun kesebelas kenabian, tepat malam tasyriak Muhammad berdakwah kepada enam orang yang berasal dari Madinah yang tengah menjalankan ibadah haji. Enam orang tersebut bersumpah setia untuk bertauhid, tidak syirik, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak, tidak berdusta dan tidak membangkang perintah nabi. Peristiwa ini dikenal sebagai Baiatul Aqabah I. Langkah selanjutnya pada tahun ketiga belas setelah kenabian di bulan Dzulhijjah terdapat 75 orang yang bersumpah setia dan disebut sebagai Baiatul Aqabah II. Nabi menunjuk 12 orang dari mereka sebagai kepala kelompok atau dijuluki naqib untuk menjadi “panitia lokal” di Yastrib menjelang hijrah.
Di Yatsrib terdapat 2 suku paling terkemuka, yakni suku Aus dan Khazraj yang bertahun-tahun berperang akibat monopoli yang dilakukan oleh kelompok Yahudi. Yahudi datang ke Madinah mengikuti ramalan dalam kitab sucinya Taurat akan adanya nabi pamungkas yang lahir di Jazirah Arab, mereka menetap di Madinah menaruh harap nabi tersebut lahir dari rahim perempuan Yahudi keturunan Ishaq, Yaqub, sebagaimana nabi-nabi sebelumnya.
Hijrahnya kaum muslim ke Yastrib atau Madinah menandai fase baru dalam gerakan kaum muslimin. Selama di Mekah, kaum muslim bergerak layaknya komunitas yang tidak memiliki satu kesatuan politik yang merdeka. Namun setelah hijrah, kaum muslim yang dipimpin nabi Muhammad mempunyai satu kesatuan kekuatan politik yang berdaulat atas wilayah Madinah. Kedaulatan tersebut bukan turun dari langit seperti turunya wahyu selama ini, melainkan melalui proses kontrak sosial antara kaum muslim Anshar dan Muhajirin, beserta kelompok Yahudi dari bani qainuqa, bani nadhir dan bani quraizhah.
Kontrak sosial yang dibangun antar kelompok heterogen di Madinah menciptakan general will (kehendak umum) yang termanifestasikan secara tertulis dalam Shahifah. Pelabelan Shahifah diberikan oleh berbagai ilmuwan dunia, W. Montgomery menyebutnya The Constitusional of Medina, R.A. Nicholos menyebutnya sebagai Charter, Majid Khadduri menyebutnya sebagai Treaty, Philip K. Hitti menyebutnya sebagai agreement, Zainal Abidin Ahmad menyebutnya sebagai piagam.
Ini adalah konstitusi modern pertama yang pernah ada. Sebab dari 47 Pasal di dalamnya memuat prinsip-prinsip konstitusi negara moderen yakni adanya pengakuan eksistensi suku dan agama dengan toleransi dan solid, semua warga negara di Madinah memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum, mengakui dan menjamin hak kebebasan beragama baik bagi muslim maupun non-muslim, mengakui hukum adat yang sudah berjalan selama tidak bertentangan dengan keadilan dan kebenaran, mengusung konsep bela negara dengan dasar pemberian hak dan kewajiban yang sama pula.
Melalui negara Madinah ini, nabi Muhammad memperjuangkan keadilan sosial. Negara bagi nabi Muhammad bukanlah tujuan akhir, melainkan instrumen untuk mewujudkan nilai-nilai dan mendorong sistem yang memanusiakan manusia dengan kemanusiaan. Tidak hanya di Madinah, tapi di setia penjuru bumi. Hal itu dapat dilihat dari banaknya utusan negara Madinah ke berbagai negara lainnya tatkala itu, seperti diutusnya Amer bin Umaiyah sebagai diplomat ke Raja Nejus Habasyah, Shiyah Alkalabi sebagai diplomat ke Heraklius Kaisar Romawi, Abdullah bin Hudzaifah ke Kisra Raja Persia, Hatib bin Abi Balta’ah ke Muqauqis Raja Mesir, Syuja’ bin Wahab ke Harits bin Abi Syamer Alghasany Raja Balqo Syam, Slith bin Amer ke Hudzah bin Ali Alhanaf Pembesar Yamamah, Ala’ bin Hadramy Mundzir ibnu Raja Bahrain, Abu Musa Al Asy’ari dan Mu’ad bin Jabal ke Yaman. Nabi muhammad juga membebaskan Mekah dari sistem yang despotik dan diskriminatif menuju pada kemerdekaan yang sesungguhnya melalui Fathul Makkah.(*)




