Mandalika adalah kawasan wisata yang terletak di bagian selatan Pulau Lombok. Melalui PP Nomor 52/2014, Mandalika menjadi Kawasan Ekonomi Khusus Pariwisata. Kini, Mandalika menjadi kian dikenal dunia setelah Sirkuit Mandalika akan menjadi salah satu sirkuit MotoGP 2022.
***
Kawasan ini memiliki wisata bahari dengan pesona pantai dan bawah laut yang mempesona. Penamaan Mandalika berasal dari tokoh legenda yakni Putri Mandalika dengan parasnya yang cantik.
Masyarakat Lombok Tengah merayakan upacara Bau Nyale yakni ritual mencari cacing laut yang dipercaya sebagai jelmaan dari Putri Mandalika setiap tahunnya. Perayaan budaya ini mampu menarik wisatawan baik lokal maupun internasional.
Seperti halnya masyarakat suku sasak. Mereka kerap menangkap cacing di sepanjang Pantai Seger, Kuta, Lombok Tengah. Penangkapan cacing ini bukan sembarang cacing. Penangkapan cacing ini merupakan salah satu tradisi masyarakat di Lombok bernama bau nyale.
Bau nyale merupakan dua suku kata yang berasal dari bahasa Sasak. Bau memiliki arti ‘menangkap’, sedangkan nyale memiliki arti ‘cacing laut’. Jadi ini merupakan tradisi untuk menangkap cacing laut di sekitar Pantai Seger.
Tradisi bau nyale juga dipercaya oleh masyarakat Lombok memiliki hubungan dengan legenda Putri Mandalika. Mereka meyakini bahwa cacing warna-warni yang ada di sekitar pantai merupakan jelmaan dari Putri Mandalika.
Begini kisahnya. Kala itu, di pesisir pantai Pulau Lombok terdapat sebuah kerajaan. Kerajaan tersebut dipimpin oleh Raja Tonjang Beru yang memiliki Permaisuri Dewi Seranting. Mereka memiliki seorang putri cantik bernama Putri Sarah Wulan atau yang dikenal dengan Putri Mandalika. Putri Mandalika dikenal oleh masyarakat sekitar sebagai putri yang cantik, ramah, dan sopan.
Beranjak dewasa, kecantikan Putri Mandalika terus terpancar membuat para pangeran dari berbagai penjuru ingin menikahinya. Namun, Putri Mandalika memilih jalan lain untuk hidupnya. Bukan tanpa sebab, jika sang Putri tidak menerima lamaran dari salah satu pangeran akan terjadi bencana besar dan merugikan banyak orang.
Putri Mandalika tidak ingin ada pertumpahan darah di daerahnya dan merugikan banyak orang. Karena itu, sang putri memutuskan mengorbankan jiwa raganya demi keselamatan banyak orang.
Pada tanggal 20 bulan 10 menurut penanggalan suku Sasak, sang putri mengundang seluruh pangeran dan seluruh rakyat ke Pantai Seger Kuta. Mereka harus datang sebelum matahari terbit.
Pada saat itulah sang putri menyampaikan keputusannya. Setelah sang putri mengatakan bahwa ia memutuskan memberikan dirinya kepada seluruh rakyat dan seluruh pangeran. Putri Mandalika langsung terjun ke laut dan ditelan gelombang. Para Pangeran berusaha menyelamatkan, tetapi dirinya terpental oleh gelombang yang besar.
Setelah air mulai surut, semua orang melihat adanya cacing berwarna-warni dari permukaan pantai. Para rakyat mulai menangkap cacing tersebut dan memakannya, sebagai rasa cintanya terhadap Putri Mandalika.
Cacing warna-warni itulah yang dianggap masyarakat Lombok sebagai jelmaan Putri Mandalika. Inilah awal mula dilaksanakan tradisi bau nyale.
***
Pelaksanaan tradisi Bau Nyale
Masyarakat Lombok percaya bahwa dengan menangkap nyale, mereka telah bertemu dengan Putri Mandalika. Jadi, Kawan jangan heran jika berkunjung ke Lombok pada musim bau nyale. Kawan akan menemukan ribuan warga berbondong-bondong berkerumun di sekitar pantai untuk menangkap nyale.
Pelaksanaan tradisi bau nyale diawali dengan pertemuan para tokoh adat untuk menentukan hari Nyale keluar. Hari baik tersebut disesuaikan dengan penanggalan sasak, yakni pada tanggal 20 bulan 10. Hal ini juga disebut sebagai sangkep wariga.
Kemudian, sehari sebelum tradisi bau nyaledilakukan, para tokoh adat membacakan lontar atau naskah di bale saka pat. Bale saka pat merupakan sebuah bangunan tradisional yang memiliki empat tiang.
Bersamaan dengan pembacaan lontar juga dinyanyikan beberapa lagu tradisional dengan urutan yang telah ditentukan. Lagu tersebut di antaranya “Pupuh Semarandana”, “Pupuh Sinom”, “Pupuh Maskumambang”, dan “Pupuh Ginada”.
Prosesi ini juga menggunakan daun sirih, kapur, kembang setaman dengan sembilan jenis bunga, dan dua buah gunungan. Gunungan tersebut berisikan jajanan tradisional khas suku Sasak dan buah-buahan lokal. Kemudian, para tokoh adat menggelar upacara Nede Rahayu Ayuning Jagad.
Dalam upacara ini, para tetua adat Lombok berkumpul dengan melingkar dan di tengah-tengah mereka diletakkan jajanan dan buah-buahan berbentuk gunungan. Setelah prosesi tersebut selesai, barulah para masyarakat turun ke laut untuk menangkap nyale. Proses penangkapan dibantu dengan alat penerang, seperti senter dan jaring khusus.
Namun, ada pula yang langsung menggunakan tangan. Hal ini diperlukan kesabaran, karena mengingat cacing sangat licin dan lincah.
Masyarakat menangkap nyale pada dini hari, dikarenakan nyale akan keluar pada pukul 04.00 hingga 06.00 pagi. Tradisi bau nyale ini hanya digelar satu kali dalam setahun yang tanggalnya disesuaikan dengan penanggalan suku Sasak. (berbagai sumber/SR)




