Desas desus pungutan liar (pungli) ganti rugi lahan di Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Pemukiman (Perkim) Sulawesi Barat kian menyeruak. Kini, mulai muncul nama beberapa staf yang kerap disebut-sebut sebagai eksekutor.
—————————–
SALAH satu lembaga swadaya masyarakat atau LSM cukup gelisah dengan ini. Adalah M Jupri, Direktur Jaringan Advokasi Masyarakat Mamuju (JAMM) bahkan mengantongi beberapa data yang cukup valid masalah ganti rugi lahan warga di Sulawesi Barat.
Jupri melihat secara administrasi proses ganti rugi cukup bagus dan memenuhi semua persyaratan. Namun, selama ini ada kejanggalan. Salah satunya adalah pemilik lahan dibebani setoran berkisar 10-20 persen. Nilai kompensasi bernama pungli yang cukup fantastis.
“Ini terjadi sudah lama, bukan hanya ganti rugi lahan warga di bandara Tampa Padang,” tukas Jupri.
Pungli ganti rugi lahan adalah tindakan penyalahgunaan kekuasaan untuk meminta uang atau sesuatu dari korban yang dapat merugikan. Pungli juga termasuk kejahatan jabatan dan tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 dan UU Nomor 22 Tahun 2001. Dalam KUHP, pelaku pungli dijerat dengan pasal 368 ayat 1 dengan ancaman pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Menurut Jupri, perilaku pungli di Dinas Perkim Sulbar seringkali muncul dengan istilah kerelaan sang pemilik lahan untuk memberikan kompensasi dengan ungkapan “tanda terima kasih”. Ini adalah modus untuk memuluskan aksi pelaku pungli melancarkan aksinya.
“Sudah menjadi jejaring di Perkim sampai ke staf biasa yang terlibat dalam proses ganti rugi tersebut,” imbuh Jupri. Dalam waktu dekat, kilah Jupri lagi, masalah ini akan didorong ke aparat penegak hukum.
Mengulik kebenaran informasi ini, Sekretaris Dinas Perkim Sulbar Amrin yang dikonfirmasi melalui gawainya tidak berani memberikan penjelasan secara detil soal gonjang ganjing ini.
“Mohon maaf untuk info yang dibutuhkan tentang hal yang dimaksud saya tidak bisa memberi jawaban yang jelas,” katanya, Rabu (18/9/2014).
Menurut Armin, kompensasi 10 persen tidak ada informasi yang jelas.
“Saya selaku Sekdis juga hanya mendengar katanya dan katanya, dan tidak ada juga pihak pemberi yang menyampaikan bahwa saya memberi sekian kepada pihak staf Perkim, kalau anda memiliki data silahkan saja, itu hak anda, terima kasih,” tulis Amrin via WhatsApp.
Berikut petikan wawancara Sekdis Perkim Sulbar via chat WhatsApp:
Bapak hanya dengar ya pak? Tapi apa tidak ada usaha bapak sebagai Sekdis mencari kebenaran informasi tersebut secara langsung selama ini?
Oh ya belum, Insya Allah kalau pembayaran ke depan saya sudah berupaya untuk tdak memverifikasi pembayaran sebelum menemui dan memanggil yang bersangkutan.
Berarti selama ini verifikasi pembayaran dilakukan tidak bertemu langsung yang bersangkutan (pemilik lahan, red) pak?
Iya betul, karena verifikasi itu data dan dokumen yang dibutuhkan, ada yang menangani terhadap siapa dan di mana mau dibayar. Datanya lengkap yang mau dan yang sudah.
Yang saya maksud apakah setelah pembayaran bapak tidak menemui yang bersangkutan dengan adanya desas desus 10-20% tersebut?
Iya, tidak.
Kenapa bapak tidak temui warga pemilik lahan?
Justru yang begini saya tidak inginkan, jangan sampai timbul persepsi bahwa Sekdis juga ikut didalamnya karena menemui pemilik lahan.
Hehe..menemui pemilik lahan itu melakukan cek dan ricek pak, bukan alasan menghindari persepsi. Tapi apa bapak sadar kalau pungli itu implikasi hukumnya berat pak?
Sangat sadar.
Termasuk melindungi para pelaku pungli di kantor Perkim Sulbar pak?
Kalau saya seandainya bisa tangkap tangan, supaya jelas.
Semua ingin seperti itu pak. Tapi, audit investigasi adalah cara untuk mengungkap secara hukum indikasi pungli tersebut. Hukum bukan mengandai-andai pak Sekdis.
Cocok, maksud saya tidak akan ada yang mengaku kalau ditanya.
Bapak yakin itu?
Keyakinan ada pada diri masing-masing, kalau persoalan yang begini mungkin ada yang jujur adalah tugas investigasi.
(*/sr)