Silang pendapat soal IKN (Ibu Kota Nusantara) beberapa pekan terakhir terkait rencana pembangunan ibukota baru di Kalimantan Timur sangat viral. Namun, ada baiknya jika kisruh itu dikesampingkan dulu dengan menyimak kembali legenda Pesut Mahakam, ikan endemik Kalimantan Timur.
***
Pesut mahakam adalah mamalia air yang hidup di sungai air tawar daerah tropis dan hidup dengan cara berkelompok (6-9 ekor). Menukil Indonesia.go.id, pesut di Indonesia berkerabat dekat dengan pesut yang terdapat di Asia Tenggara dan Asia Selatan, juga Australia.
Menurut WWF, Pesut Mahakam disebut juga dengan lumba-lumba Irrawaddy yang biasanya ditemukan di daerah pantai di Asia Selatan dan Tenggara, serta populasinya berada di tiga sungai, yakni Sungai Ayeyarwady (Myanmar), Sungai Mahakam (Kalimantan, Indonesia), dan Sungai Mekong.
Dianggap Jelmaan Manusia
Bagi masyarakat Kalimantan Timur (Kaltim), Pesut Mahakam bukan sekadar hewan biasa, tapi jelmaan manusia. Konon, menurut cerita rakyat, satwa ini merupakan jelmaan sepasang kakak beradik anak dari pasangan petani.
Dikisahkan, kedua bersaudara ini ditelantarkan ayahnya. Suatu ketika mereka pernah tidak diberi makan. Karena rasa lapar yang amat sangat, mereka pun masuk ke dalam dapur untuk mencari makan. Kedua anak tersebut kemudian memakan bubur panas yang sedang mendidih dalam priuk. Karena kepanasan keduanya berlari menuju sungai merendamkan tubuh dan menyemburkan udara dari kepala.
Hingga akhirnya datang orang tua kedua anak tersebut dan mendapati dua pesut yang sedang menyemburkan air dari atas kepalanya. Sang ayah hanya bisa menangis, melihat anak-anaknya berubah menjadi ikan. Anak-anak yang berubah menjadi ikan tersebut, melihat sedih ke arah ayahnya.
Seolah-olah mengucapkan selamat tinggal, dua ekor ikan jelmaan yang berwarna hitam tersebut kemudian berenang ke tengah sungai Mahakam dan tidak terlihat lagi. Dua anak-anak kecil tersebut pun hingga kini dipercaya menjadi legenda yang menghuni sungai Mahakam.
Masyarakat Kutai menyebut ‘jelmaan’ tersebut dengan pesut atau pasut, sedangkan masyarakat di pedalaman Mahakam menyebutnya dengan bawoi.
Menurut Muhammad Sarip, penulis buku Sejarah Sungai Mahakam, cerita legenda Pesut Mahakam berkembang menjadi dua versi. Versi pertama, kata Sarip, cerita berlatar sebelum agama samawi masuk ke wilayah Kutai. Kemudian versi kedua adalah setelah Islam masuk, ceritanya dimodifikasi seolah dua anak tersebut terkena kutukan. Karena mereka mengambil dan makan tergesa-gesa tanpa berdoa sebelum makan.
“Cerita itu kemudian jadi trik untuk nasihati anak-anak di era itu,” kata dia, mengutip Kompas. (GNFI Legenda/SR)