Lembaga pendidikan swasta atau tenar dengan sebutan sekolah swasta diakui memiliki andil cukup besar membantu pemerintah terutama di daerah-daerah. Nasibmu kini meradang dan semakin tak jelas.
Laporan: Sulaeman Rahman
***
PAMEO ‘Hidup Segan Mati tak Mau’, cocok menjadi tamsil bagi sekolah-sekolah swasta di daerah di tengah era yang kian pesat kini. Belum lagi digitalisasi, boleh jadi akan menggerus keberadaan mereka. Pelan tapi pasti, bukannya menanjak tapi jalan semakin terjal yang harus mereka lalui.
Fenomena Lembaga Pendidikan Swasta (LPS) yang kini bertebaran di daerah-daerah di Sulawesi Barat saatnya nanti akan menjadi ibarat kuncup layu sebelum mekar. Meskipun, kondisi ini tidak semuanya dialami oleh sekolah swasta. Namun, kenyataan tidak juga boleh dinafikan bahwa ada beberapa sekolah swasta yang mengalaminya.
Hal ini menjadi kegelisahan yang tak urung selalu disuarakan Dewan Pendidikan Sulawesi Barat, mengisi ruang-ruang kosong dunia pendidikan di provinsi ke-33 ini yang terkesan ‘dibuang sayang’ oleh para pemangku kebijakan pendidikan.
“Ya, kita bisa menyebut fenomena sekolah swasta menjadi ibarat hidup segan mati tak mau,” ketus M Danial, Anggota Dewan Pendidikan Sulawesi Barat.
Menurut dia, tidak bisa dipungkiri sekolah swasta di Sulawesi Barat juga memiliki peran dan andil besar membantu pemerintah mencerdaskan bangsa. Apatah lagi di wilayah-wilayah yang masih minim sekolah negeri.
Danial mencontohkan, salah satu sekolah swasta di Desa Laliko, Kecamatan Campalagian, Kabupaten Polewali Mandar. Sekolah Menengah Kejuruan Swasta (SMKS) Madani Mandar yang didirikan sejak tahun 2018 ini, tengah meradang dalam serba keterbatasan.
Padahal, Danial menyebut Lembaga pendidikan swasta memiliki peran yang tidak boleh dinafikan sebagai mitra pemerintah mempersiapkan generasi muda sebagai sumber daya manusia berkualitas.
“Namun, sekolah-sekolah swasta menghadapi berbagai tantangan yang tidak ringan untuk pengembangan. Bahkan, untuk sekadar bertahan hidup pun harus ditopang yayasan yang menaungi,” kilahnya.
Kepala Sekolah SMKS Mandar Madani, Sufriadi, menyebut setiap tahun ajaran masih juga ada peminat untuk menimbah pengetahuan di sekolahnya. Namun, jumlahnya amatlah minim. Saat ini jumlah siswa keseluruhan hanya 59 orang dengan tenaga pengajar 12 orang.
“Siswa mengikuti kegiatan pembelajaran dalam ruang belajar sederhana, seluas 6X16 meter disekat menjadi beberapa bagian menggunakan papan dan tripleks. Di dalamnya juga termasuk ruang kepala sekolah, ruang guru dan ruang tamu,” keluh sang kepala sekolah.
Meski begitu, Danial menyebut keterbatasan SMKS Mandar Madani masih mending lantaran masih bisa memiliki jumlah peserta didik di atas 50-an orang.
“Kabarnya malah ada sekolah swasta yang jumlah siswanya tidak lebih dari 30 orang. Ini miris,” ungkapnya.
Anggota Dewan Pendidikan Sulawesi Barat, ini menyikapi fenomena sekolah swasta yang kian meradang hendaknya diberikan perhatian. Ibarat orang yang sakit, setidaknya mereka bisa mendapatkan perhatian walau hanya sekadar ‘obat anti nyeri’ untuk bisa bertahan. Sebab, jika mengandalkan anggaran pemerintah, tentu akan selalu muncul argumentasi klasik.
“Intinya perlu kepedulian pemerintah terhadap lembaga pendidikan swasta. Peranan LPS tdk bisa dinafikan membantu pemerintah memberi pendidikan kepada anak-anak yang tidak tertampung di sekolah negeri,” urainya.
Danial meminta agar LPS jangan sampai diperlakukan diskriminatif, seolah menafikan perannya selama ini. Pemerintah, dalam hal ini Disdikbud perlu memiliki pemetaan kebutuhan sarana dan prasarana semua sekolah, termasuk swasta untuk menjadi bahan perencanaan berdasarkan skala prioritas.
Sebab, sangat mengiris hati menyaksikan sekolah swasta yang gedungnya permanen hanya seukuran 6×16 meter, halaman sekolah tak berpelataran layak, dan pagar masih dari bambu yang hanya diperbaharui dengan cat seadanya. Belum lagi kebutuhan proses belajar mengajar. (*/red)