Namanya Fitriani, usia delapan tahun. Ia lahir 2013 silam. Takdir menghadirkannya ke dunia dengan bagian tubuh tidak lengkap. Ia lahir tanpa telapak tangan, tanpa telapak kaki, bahkan sebelah kakinya hanya selutut.
***
Semua orang yang menyaksikan proses kelahiran anak perempuan ini hanya menangis. Sekali lagi hanya bisa menangis. Menitikkan air mata lantaran sedih menyesak dada. Tapi, demikianlah takdir. Orang tua Fitri –panggilan sehari-harinya—hanya bisa pasrah dengan takdir itu.
“Yang dibutuhkan adalah kaki palsu, saya sangat berharap ada yang bisa membantu memberikan sepasang kaki palsu untuk Fitri,” ucap Aco sembari menyeka matanya yang sembab. Aco adalah ayah kandung Fitri, sehari-hari bekerja sebagai buruh tani di kampungnya, Desa Taramanu Tua, Kecamatan Tubbi Taramanu, Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
Aco bersama istri tercintanya, Ida, tetap tegar dan sabar merawat buah hati sulungnya itu. Keduanya mengaku tetap mensyukuri apa yang sudah diberikan Tuhan kepada kelurga kecilnya. Ketegaran mereka terciprat dari sikap tegar Fitri yang tidak pernah malu dan tetap semangat bersekolah, sekalipun kondisi fisiknya beda dengan anak-anak lain di desanya.
Sebenarnya semangat Fitri bersekolah dan kepercayaan dirinya, menguatkan Aco dan Ida orang tuanya terus mendorong anaknya untuk bersekolah. Fitri kini duduk di bangku kelas satu sekolah dasar. Jarak sekolah dari rumahnya hanya 150 meter. Lantaran tidak memiliki telapak kaki, kadang ke sekolah diantar ibunya dan pulang seringkali dibantu teman-teman sekolahnya.
“Mandi, pakaian dan makan sudah bisa dilakukan sendiri tanpa bantuan orang lain, kadang ikut membantu ibunya mencuci piring,” kata sang ayah kepada wartawan, yang bertandang ke kediamannya, Senin siang (20/12/2021) lalu.
Meski prihatin dengan keadaan putrinya, Aco mengaku tidak dapat berbuat banyak untuk bisa meringankan kesulitan hidup Fitriani, khususnya membeli sepasang kaki palsu. Soalnya, untuk menafkahi keluarganya saja Aco mengandalkan pendapatan sebagai buruh tani.
***
Terlahir dengan kondisi tidak sempurna, tidak lantas membuat Fitri berkecil hati. Ia berusaha tegar dan tetap semangat menjalani hari-harinya, layaknya anak-anak seusianya.
Ketika wartawan berkunjung ke rumahnya, Fitri langsung menyambut dengan senyum. Ia seolah tidak merasa canggung apalagi malu kepada siapa saja yang baru pertama kali dijumpainya.
“Saya lagi mewarnai om, saya senang menggambar dan mewarnai,” akunya sembari menunjukkan beberapa gambar yang telah diberi warna. “Saya juga sudah pintar menulis,” sambung Fitri yang bercita-cita menjadi guru ini.
Untuk menulis ataupun sekedar memegang sesuatu, ia menggunakan kedua ujung lengannya yang tidak memiliki telapak tangan. Ketika ia hendak berpindah tempat, seringkali ia harus melompat mengandalkan salah satu pergelangan kakinya yang hanya sebatas mata kaki. Tidak jarang pula, ia menekuk salah satu pergelangan kakinya, hingga sejajar dengan pergelangan kaki lainnya yang sebatas lutut.
“Semoga ada yang bisa membantu Fitri memberikan kaki palsu,” canda hangat Fitri disertai senyum.
Bisakah kita semua menjadi orang tua setegar Aco dan Ida? Atau, menjadi anak seceria Fitriani yang ketiadaan organ penting sejak dilahirkan? Mungkin ini isyarat kepada yang berkelebihan hiburlah Fitri dan kedua orang tuanya, setidaknya memikul sebagian beban di kehidupan mereka. Mereka tidak butuh android, mereka juga tidak butuh belas kasihan. Mereka butuh keihlasan kita. Hanya itu..! (Sulaeman Rahman)