* Penulis: Tulqi
Welcome to fenomena yang sudah sangat familiar di telinga kita, namun pandangan orang-orang masih saja tidak semaju dan tidak sekaya seperti harta yang mereka miliki ataupun sebaliknya, minim seperti kurangnya harta yang mereka miliki. Hal ini cukup menggelitik, sehingga perlu untuk disuarakan.
Yah, masih banyak saja yang memiliki paradigma bahwa dengan harta, pangkat dan kekayaan bisa mendatangkan rasa bahagia. Hanya itu yang mereka tanamkan di hidup mereka, tapi mereka tidak pernah berpikir bahwa karena tawaran harta, pangkat dan kekayaan bisa saja merenggut motivasi, optimisme dan kebahagiaan. Mirisnya lagi, seorang anaklah yang seringkali menjadi “Korban” akibat paradigma seperti ini.
Sesekali saya berpikir dan semoga ini hikmah dari perjalanan pendidikan saya. Tak jarang kita dengar orangtua yang menginginkan anaknya menikah dengan orang yang memiki harta, pangkat dan juga kekayaan. Ya, cukup kami fahami bahwa semua itu “kemungkinan” bisa membuat hidup lebih terjamin. Namun, jika kita membuka mata lebar-lebar dan melihat fenomena yang banyak terjadi, tentunya kita sudah bisa mengambil kesimpulan akan hal itu.
Heran, mengapa kebanyakan orangtua malah menetapkan indikator utama dan menuntut anak-anaknya untuk memilih pasangan yang memiliki ketiga hal itu dan bahkan memaksa menjodohkan anak-anak mereka karena hal tersebut, tanpa mempertimbangkan bahwa hal itu hanya akan merampas hak dan kebahagiaan anak-anak mereka.
Hal ini sebenarnya meremehkan kemampuan anak dan mengajarkan anak untuk menjadi pengemis dan hidup pesimis, bukankah begitu?
Terlebih lagi jika paradigma seperti ini masih ingin dibudayakan pada anak-anak yang tengah mengenyam masa studi mereka. Inti dari pendidikan adalah untuk moral dan cara berpikir serta untuk memberikan solusi terhadap permasalahan yang terjadi dewasa ini.
Khususnya anak perempuan, saya pribadi bersyukur diberikan pendidikan yang layak. Dimana kami mulai berpikir bahwa dengan pendidikan ini, kami perempuan dilahirkan bukan untuk menjadi budak dan hanya menunpang hidup dalam kemewahan yang dimiliki oranglain. Kami pun bisa memperoleh itu semua dengan usaha kami walaupun tidak instan.
Dibandingkan dengan harta kekayaan, persoalan mental lah yang perlu digaris bawahi. Lebih baik paradigma pesimis seperti ini mereka ubah dengan pandangan yang lebih cemerlang tanpa menjadikan anak sebagai “TUMBAL”.
Daripada memaksakan kehendak dan hanya akan memberikan stres dan tekanan kepada anak, lebih baik orangtua mendoakan anak-anak mereka agar memiliki ketiga itu, harta, pangkat dan kekayaan.Tanpa harus memaksa menumpang hidup pada kekayaan oranglain.
Yakin saja dan selalu doakan kebaikan-kebaikan untuk mereka. Percaya saja, orangtua yang tidak menuntut apapun akan lebih dihargai dan dicintai oleh anak-anaknya. Kebanyakan dari kita lupa bahwa yang patut untuk ditanamkan adalah rasa syukur, ikhlas, sabar dan zuhud, bukan cinta akan harta. Terlebih lagi untuk mencintai harta oranglain. Na’udzubillah
Inti dari tulisan ini
“Kenapa bukan anaknya saja yang didoakan agar menjadi orang kaya ? Kenapa mesti memaksakan kehendak untuk menikahkan anak-anak mereka dengan orang kaya berharta? Hal ini hanya akan menunjukkan bahwa mereka sendiri pesimis dengan do’a-do’a mereka dan menuntut seorang anak untuk menjadi pengemis yang pesimis di kehidupan oranglain”
We can be fully human, without ceasing to be fully female. – R. A. Kartini