Oleh: Muhammad Akzal Ramadhan
* Penulis adalah mahasiswa semester VI Fakultas Ushuluddin Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati (UIN SGD) Bandung.
“Tuhan telah mati, Tuhan tetap mati, dan kita telah membunuhnya.” Sebuah kutipan yang sudah tak asing lagi yang keluar dari mulut seorang filsuf abad 19 Friedrich Nietzsche. Sebuah argumen yang mengandung banyak kontroversi di masyarakat luas, sehingga menciptakan kritik-kritik sosial yang hingga sekarang ilmu filsafat selalu dianggap ilmu yang mempelajari tentang teori-teori kesesatan pada kacamata masyarakat umum.
Ungkapan Nietzsche ini dapat dipahami sebagai gambaran umum tentang metode manusia untuk memahami kehidupan sebagai realitas yang perlu dijalani tanpa mempermasalahkan tentang baik dan buruk sebagai standar aksiologi manusia. Sehingga, manusia mempunyai alasan untuk melakukan sesuatu yang ia cintai tanpa didominasi oleh nilai yang di luar daripada dirinya. Nietzsche sangat paham bahwa manusia harus melepaskan diri dari intervensi dan dominasi nilai keilahian serta sejumlah moral tertentu menuju pada tahap kehidupan yang bernilai, karena tanpa sadar hidup tanpa intervensi nilai diri sendiri adalah upaya mewujudkan makna kehidupan yang tidak memaksakan sifat absolut tuhan. Sehingga, pemahaman menjelaskan tentang bagaimana manusia berusaha melepaskan ketergantungan pada siapapun dan intervensi apapun kecuali pada power of self atau kekuatan diri sendiri.
Konsep Tuhan yaitu berasal dari keterlibatan suatu perasaan. Jika seorang manusia dihadapkan dengan suatu masalah atau perasaan yang lebih besar dari dirinya, maka akan menganggap bahwa dirinya sudah tidak aman lagi, ia akan berusaha mengarahkan pandangan ke sesuatu yang lebih besar lagi yaitu Tuhan. Namun, apabila manusia dihadapkan dengan sebuah kebahagiaan, kesenangan dan hal-hal yang membuat manusia itu lupa diri, ia akan sibuk dengan kepentingan dirinya sendiri, melakukan hal yang melawan eksistensi Tuhan dan tanpa sadar manusia telah menjadi pembunuh, dan membunuh Sang Maha Pembunuh.
Keberanian Nietzsche dalam menyingkap kematian Tuhan bukanlah hanya ketika Nietzsche mendengar suara cangkul para penggali liang kubur Tuhan dan suara bertemunya palu dan paku sebagai perekat peti mati Tuhan. Namun, perdebatan antara manusia dengan Tuhan yang mengakibatkan nilai manusia muncul sebagai manusia yang seutuhnya, dengan nilai kebebasan yang tak terbatas dan kekuatan tanpa tanding. Manusia perlu suasana baru yang bebas dari segala macam nilai dan nuansa yang tanpa aturan bagi seluruh kreativitas masing-masing individu. Karena pada awalnya, ruang kebebasan manusia terpojok dan hampir hilang, padahal berkat ekspresi kebebasan itulah yang mengindikasikan betapa luhurnya keberadaan manusia. Dan sejak saat itu Tuhan tak lagi relevan dan aspiratif bahkan dianggap menakutkan karena senantiasa mengawasi perilaku-perilaku manusia.
Bukankah ketika Tuhan memproklamirkan dirinya sebagai Tuhan yang bersifat absolut, seharusnya mengerti dengan kehidupan manusia yang penuh dengan bakat alamiah yang tak mesti harus dibatasi oleh keputusan-keputusan yang bersifat teka-teki. Realitanya, hari ini manusia selalu memiliki hasrat untuk mengungkap kebenaran dengan pelbagai macam metode dan inovasi sesuai dengan relevansi zaman. Konsep tentang Tuhan yang ada di mana-mana membuat manusia muak dan terpenjara dalam diri mereka, sehingga melakukan pemberontakan-pemberontakan yang menjadi sebuah upaya untuk membunuh Tuhan. Berkumpul di bar terkenal pada sebuah Pantai Jamaika, mabuk-mabukan dan pesta sex menjadi sesuatu hal yang tak lagi tabuh untuk diperlihatkan kepada Tuhan yang tak tahu malu. Tuhan yang berada di segala tempat dipertujukkan manusia dipertontonkan cara bermain poker dan membalik kartu remi pada judi besar-besaran di Texas setiap tahunnya, tak lepas bagaimana Tuhan diperlihatkan tentang peribadatan dan ruang-ruang religi digunakan untuk kepentingan perut pemuka-pemuka agama.
Di saat Tuhan berusaha menetapkan realitas manusia yang pada umumnya dikenal dengan istilah takdir, di tengah manusia yang menjalani kehidupan yang kita tahu bahwa realitas itu sifatnya dinamis dan pada suatu ketika kekacauan terjadi di mana-mana, pembunuhan serta perampokan merajalela, perang salib, perang mengatasnamakan Tuhan, pencurian yang dilakukan oleh Arsene Lupin selalu berhasil, penipuan yang diperankan oleh Frank Abagnale Jr selalu tak terlihat sehingga berakhir menjadi anggota FBI departemen pengawasan cek bank. Siapakah yang menyembunyikan Tuhan? Ataukah Sherlock Holmes adalah sekutu Tuhan yang dikirim untuk memenjarakan dan menyelesaikan setiap kasus kejahatan di Prancis, tak luput pula Kiyoshi Mitarai yang menyelesikan kasus yang tak terpecahkan selama 40 tahun di Jepang. Siapa mereka, utusan Tuhan atau malah mereka yang membunuh Tuhan? Bisa jadi para penjahat yang menjadi Tuhan atau Tuhan benar-benar tak lagi punya kekuatan untuk memberantas kejahatan, dan manusia bertambah kuat.
Kematian Tuhan sejak zaman itu menjadikan manusia lebih mengenal diri mereka tanpa doktrin dan dogma agama yang pragmatis, sehingga manusia yang awalnya menjadi kaum fanatisme buta, akhirnya lebih membuka diri dari doktrin agama yang menolak dan membenci kehidupan. Nietzsche menginginkan reformasi radikal untuk konsep ketuhanan yang tak lagi segar, ia menghendaki ketuhanan yang lebih membumi yang sering ia idolakan pada sosok Dionysus sebagai simbol keilahian yang hidup di bumi. Ia menganjurkan tentang kehidupan yang nyata, kini dan dekat, bukanlah cita-cita yang terlalu jauh dan abstrak seperti kehidupan nanti di balik dunia ini. Menghargai diri dengan segala martabat dan kemampuann, sebab tubuh mempunyai kecerdasannya sendiri, tidak menjauhkan diri dari senggama seksual yang alamiah dan medukunng kehidupan, sebab Ia yang rohnya jauh ke atas layaknya pohon besar yang menjulang, namun akarnya menghujam tajam ke dalam bumi. Setiap manusia memiliki kehendak untuk berkuasa atas dirinya, entah dalam bentuk kuasa pengetahuan, seni, kharisma dan intuisi. Sebab, setiap budak pun mengimpikan dirinya menjadi tuan karena lorong-lorong jalannya ada pada setiap jiwa mereka.
Teori tentang ketuhanan yang diluncurkan oleh Nietzsche ini bukanlah hal yang dapat diterima secara mentah semata. Akan tetapi, butuh pengkajian yang mendalam nan kritis untuk mencapai makna yang terkandung dalam kalimat “Tuhan telah mati” itu sendiri. Melirik relevansi teori ini yang mungkin masih berguna bagi manusia abad 21 yang tak jauh berbeda dengan apa yang menjadi realitas kehidupan, hidup yang penuh dengan kepalsuan iman dan keyakinan, mempertuhankan diri sendiri dan membunuh Tuhan yang lain. Bagaikan Fir’aun tanpa pasukan dan Namrud tanpa takhta. Memperkaya diri dari aksi penipuan berkedok misi sosial, menikmati peribadatan tanpa sosialiasi yang dapat bermanfaat bagi diri dan orang lain, berperang antar agama meneriakkan nama Tuhan seakan-akan bakal ada bantuan pasukan dari langit bak burung ababil menghancurkan pasukan gajah, membenarkan diri sendiri dan menyalahkan perbedaan yang berada di gerbang rumahnya, membunyikan sendok serta bermain api di dapur padahal perut tetangganya mnggeretak namun tak saling akur. Model kehidupan seperti inilah yang selalu ditemukan pada bilik-bilik para kaum narsistik kompulsif, merasa kebenaran selalu pada pihaknya dan pura-pura tutup mata akan api yang menyambar bulu mata itu sendiri.
Pemikiran Nietzsche ini tentu bisa menjadi bahan renungan dan refleksi bagi umat-umat beragama khususnya di Indonesia, apapun agama dan keyakinannya. Yang terpenting kita menghargai dan menghormati diri kita dengan memanfaatkan agar berguna bagi kehidupan sosial. Realitas yang kita temukan hari ini adalah ketika agama dijadikan sebagai motorisasi politik yang mengedepankan kepentingan pribadi ataupun pihak-pihak tertentu. Keadilan hanya menjadi sekedar konsep dan dongeng semata, makan malam di restoran dan café elegan dengan pengemis dan pengamen yang menjadi tontonan para pemilik kekuasaan, ahli ibadah fokus di ruang ibadahnya dan menutup telinga dari teriakan perang di depan rumah Tuhan mereka, seakan-akan tak ada kejadian yang dapat melukai pakaian suci mereka. Kasus yang terjadi pada zaman Nietzsche, sedikit berbeda dan kadang sama dengan zaman hari ini dan persamaannya adalah mereka sama saja, sama-sama pembunuh Tuhan, membunuh Tuhan yang Maha Pembunuh. Nietzsche yang tak lain sering menjadi sasaran kebencian oleh para oknum Fundamentalis agama yang membenci pemikirannya sebagai seorang nihilism. Menurutnya, Tuhan telah mati itu adalah sebuah bentuk kritis terhadap Agama yang dipraktikkan dalam masyarakat namun terus berubah atau lebih tepatnya tentang kemunafikan para penganut agama dan para pembesar Agama yang gagasannya tidak masuk akal menjelaskan tentang Tuhan setelah zaman pencerahan. Nietzsche tak berpendapat bahwa kaum Atheism itu benar atau Tuhan itu tidak ada. Yang ia maksud adalah bahwa kepercayaan pada Tuhan dalam agama Kristen itu telah mati. Menurut Nietzsche, pada dunia modern Tuhan tak lagi memiliki tempat, terjadi keruntuhan Agama dan selaras dengan keruntuhan moralitas pada peradaban barat. Namun, hari ini Tuhan diagungkan dengan kepentingan pribadi ataupun kelompok, entah Tuhan yang mana.
Hari ini para pembunuh Tuhan merajalela di Negara Tuhan, membunuh Tuhan dengan hati-hati dan kadang tanpa hati. Mereka yang mengaku beriman tapi harinya dipenuhi dengan minuman, yang bersaksi berkeyakinan tapi tiap malam pulang dengan mabuk-mabukan. Agama hanya sebagai legenda tak berguna, kitab suci dibiarkan berdebu menghias lemari dan dibersihkan ketika hari kebesaran hanya untuk menjadi pajangan semata. Ibadah menjadi rajin ketika deklarasi menghitung hari, sedekah dilipat berkali-kali, dan kopiah hanya dipakai 5 tahun sekali untuk dipamerkan pada baliho Keep Of Loyality. Tuhan menjadi permainan logika yang tak kunjung mendapat jawaban, serta kemaksiatan menjadi pertanda buruk penghancur peradaban. Para pedagang kecil dihukum gantung karena suapan dana yang membuat perut penguasa kenyang dan tak mampu berkata sepatah kata pun, Kitab Suci yang menjadi saksi pengambilan sumpah hanya menjadi formalitas yang tidak masuk akal. Para pencuri keadilan dibiarkan lalu lalang di jalan yang dibangun oleh perjuangan dan do’a. Kebenaran hari ini bukan lagi ditentukan oleh ajaran dan warisan ketuhanan yang dibawa oleh para utusan setiap agama, tapi petinggi dan penguasa yang memegang paten kebenaran. Kematian Tuhan ditandai dengan hilangnya nilai dari peradaban. Membunuh Tuhan bukan lagi hal sulit dilakukan, mendengar panggilan dari toa rumah ibadah namun tak kunjung melakukan itu adalah metode sederhana membunuh Tuhan, manusia yang zaman ini tak lagi takut melakukan kejahatan dengan sembunyi ataupun terang-terangan, Mereka menganggap bahwa Tuhan telah mati. Tak lagi ada ketakutan yang timbul dalam hati dan jiwanya ketika berbuat kemaksiatan, sehingga mereka mengira bahwa kita hidup tanpa pengawasan. Tuhan telah benar-benar mati dalam hati dan jiwa mereka. (*)