Oleh: Sholihin Abdul Rahman
Keterlambatan terbitnya Surat Keputusan Tunjangan Profesi (SKTP) semester kedua tahun 2022, mengaduk-aduk emosi dan menimbulkan kegelisahan mendalam bagi para guru penerima Tunjangan Profesi Guru (TPG). SKTP ini adalah syarat untuk cairnya dana TPG atau lebih dikenal dengan dana sertifikasi bagi masing-masing guru di Indonesia baik yang mengajar di sekolah dalam negeri maupun guru-guru Indonesia yang mengajar di sekolah-sekolah Indonesia di luar negeri. Keterlambatan SKTP ini dipicu oleh perubahan UU Sisdiknas yang merupakan payung hukum dicairkannya dana TPG tersebut.
Lahirnya pemberian TPG bukanlah merupakan peristiwa ujug-ujug, tetapi merupakan kajian yang panjang dan dalam, terhadap kehidupan guru-guru di Indonesia yang miris dan sangat memprihatinkan. Pada tahun 1990, pernah diajak guru Bahasa Inggrisku bernama Pak Kaharuddin. Beliau mengajak bertandang ke rumah seorang guru SMP senior dan mantan kepala sekolah, yang kala itu sudah menjadi seorang pengawas. Saat berada di rumah guru tersebut, berputar bola mataku memandangi seluruh isi rumah model panggung tersebut. Tiang dinding tengah rumahnya lapuk dimakan rayap.
Nampak bahwa tiang rumah tersebut berbahan kayu kualitas rendah, sudah mendesak untuk diganti. Guru tersebut memiliki empat orang anak, semuanya sekolah bahkan sudah ada kuliah di Perguruan Tinggi. Istrinya hanya seorang ibur umah tangga biasa. Guru-guruku di SD setalitiga uang, hanya ada beberapa guru kehidupannya lumayan sejahterah, jika kedua-duanya (suami-istri) berstatus guru PNS (ASN). Guruku di SMA lebih miris lagi, masih tinggal dirumah sewa berdinding seng dari sebuah jejeran ruko-ruko sederhana di sebuah ibu kota kecamatan.
Istrinya juga hanya seorang rumah tangga biasa, dengan lima orang anak yang masihkecil-kecil. Penampilan guruku itu selalu kuperhatikan kala di sekolah. Pakaiannya kusut tak disterika, tapi masih bagus karena guruku itu orangnya humoris. Nampak bahwa beliau enjoy-enjoy saja dengan kehidupannya.
Tatkala saya dinyatakan lulus PNS (ASN) guru, dan bertugas di daerah pedalaman. Guru-guru ditempat kerjaku itu beraktifitas juga sebagai pekebun. Mereka berkebun coklat, cengkeh, sawit dan merica. Ada juga yang memelihara sapi. Ketika ditanya untuk apa melakukan semuaitu. Mereka menjawab “gaji tidak cukup, kalau tidak ada upaya begini bias kewalahan”. Istilahnya UMEGA atau Usaha Menambah Gaji hehehe.
Guru-guru di kota pilihannya adalah mengajar sambil berbisnis. Misalnya dengan mengecer barang, mendirikan lembaga pendidikan kursus (les private untuk mata pelajaran yang dianggap susah seperti Bahasa Inggris, MIPA, Akuntansi), atau berjualan nasi kuning. Sekelompok guru sering mendatangi saya menawarkan bisnis Multi Level Marketing (MLM) kala itu seperti dari CNI, Ahad Net, Tiang Shi dan lain-lain. Tak jarang guru-guru bahkan menjual LKS, diktat dan buku ke siswa.
Keluhan mereka semua sama yaitu rendahnya gaji guru. Dan tuntutannya juga sama, naikkan gaji guru, kalau perlu dua kali lipat seperti negara jiran Malaysia.
Kesan kehidupan guru ketika itu adalah kesederhanaan meskipun tidak dikatakan miskin. Saat hendak kuliah pasca lulus SMA, keluarga umumnya mendorong anaknya takmelanjutkan ke perguruan tinggi keguruan misalnya Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP), yang nota bene sebagai perguruan tinggi pencetak tenaga pendidik (guru).
Bahkan guru-guru kami di SMA banyak menyarankan untuk tak berprofesi guru, kalau ingin memburu kekayaan. Teman-teman SMA juga kebanyakan mendaftar di perguruan tinggi umum. Betapa pandangan masyarakat terhadap guru ketika itu begitu dinomorduakan. Ini kenyataan yang nampak di masyarakat terhadap kehidupan guru, dipandang dari sudut kesejahteraan.
Guru memang berbeda dengan PNS(ASN) dokter yang mempunyai pendapatan lain, misalnya dengan membuka praktik di rumah atau PNS di kantor yang juga punya pendapatan lain, seperti honor-honor kepanitiaan kegiatan dan tunjangan perjalanan dinas.
PNS guru betul-betul hanya bertumpu pada gaji murni setiap bulannya. Hal tersebut menunjukkan terbelahnya konsentrasi guru. Satu sisi, guru harus bertanggung jawab penuh terhadap pembelajaran siswa di kelas, di sisi lain harus memenuhi kebutuhan hidup keluarganya yang belum cukup.
Menurut mereka kalau guru sejahtera mereka akan focus mengajar, tidak lagi terpecah konsentrasinya memikirkan urusan ekonomi yang berbanding lurus dengan kualitas pendidikan atau mutu peserta didik. Jadi titik berat tuntutan guru adalah persoalan kesejahteraan.
Lahirnya UU Nomor 14 Tahun 2005
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 sedikit mengobati bagi para guru se-nusantara, meskipun ini masih terbilang rasa terima kasih yang “SETENGAH HATI” dari pemerintah. Kenapa tidak, kala itu Indonesia merupakan negara dengan gaji gutu tergolong rendah di dunia bahkan di Asia Tenggara. Negara jiran Malaysia bergaji guru tinggi dengan menaikkan gaji gurunya dua kali lipat tanpa embel-embel harus di sertifikasi dulu dan bukan tunjangan namanya, tapi memang manaikkan langsung gaji guru tersebut dua kali lipat, guru-guru di New Zealand lebih dahsyat lagi yakni 65 juta perbulan gaji murni belum termasuk tunjangan.
Semestinya Pemerintah Indonesia banyak-banyak berterima kasih kepada guru, karena hampir-hampir pahlawan-pahlawan besar negeri ini pernah jadi guru, tengok saja Bung Karno yang pernah mengajar di Sekolah Muhammadiyah di Bengkulu, Jenderal Sudirman pernah mengajar di SD Muhammadiyah bahkan sempat menjadi kepala sekolah di HIS Muhammadiyah Cilacap pada tahun 1936. Termasuk Jenderal Besar A.H. Nasution pernah mengajar di Bengkulu, lalu pindah ke Tanjung Raja dekat Palembang. Dan para gurulah yang banyak melahirkan pahlawan dan orang-orang penting di negeri ini.
Syahdan, Draft UU Sikdiknas yang baru ini adalah merupakan langkah mundur, meyesatkan, mengecewakans ekaligus menyesakkan dada seluruh guru di Indonesia, di lain sisi guru sangat dihargai di negeri lain, seperti Jepang. Dalam upacara-upacara kebesaran guru selalu sejajar dengan kaisar, begitu perhatiannya Kaisar terhadap guru, terbukti Jepang berhasil bangkit dari kehancuran setelah bom Nagasaki dan Hirosima berkat jasa para guru. Di lain waktu Indonesia dengan draft UU Sidiknas ini sangat terang menderang melukaiperasaan guru dan menghilangkan pasal tentang TPG yang sudah dinikmati sebagian guru selama ini. Dalam draft tersebut termasuk tunjangan daerah terpencil, tunjangan dosen, tunjangan kehormatan dosen raib tanpa melalui sosialisasi.
Hilangnya TPG ini akan berdampak sangat buruk bagi kehormatan guru Indonesia di mata internasional, di mana guru tak dihargai dan seperti pekerja paksa saja. Di samping itu akan merubah jalannya program pendidikan yang sudah baik (on the track) selama ini, meski perlu disempurnakan di berbagai sisi. Raibnya pasal TPG ini juga akan memecah konsentrasi guru mencari kesejahteraan tambahan karena guru hanya mengandalkan gaji pokok yang rendah.
Semoga draft UU sikdiknas ini segera diperbaiki, bahkan tidak berupa tunjangan, melainkan menaikkan langsung gaji pokok guru ini dua kali lipat yang akan diterima setiap bulannya, karena tunjangan tersebut menempel digaji seperti negara-negara di luar negeri. Semoga tulkisan ini bermanfaat.
Penulis adalah guru di Mamuju, Sulawesi Barat